News Update28 April 2021 14:53:58: KESALEHAN SOSIAL (Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd.)

SPIRIT LUHUR KEMERDEKAAN PENDIDIKAN (Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd.)

Bookmark and Share
12 Mei 2022 - 23:12:47 » Diposting oleh : rahmatmulyono » Hits : 2106
SPIRIT LUHUR KEMERDEKAAN PENDIDIKAN (Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd.)

 

Humas Pascadik. 13/05/2022. Peringatan Hari Pendidikan Nasional lagi, 2 Mei 2022 sudah berlangsung semenjak 63 tahun lalu ketika Presiden Soekarno mengeluarkan  Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Hari Pendidikan Nasional tidak dapat dilepaskan dari hari kelahiran Soewardi Soerjaningrat (1889-1959) yang kelak menanggalkan status ningratnya dan memilih nama Ki Hadjar Dewantara.

 

Peletak dasar pendidikan nasional ini sejak kecil hingga usia sepuh sering kali berhadapan dengan perkara kemerdekaan. Pendirian Taman Siswa merupakan perwujudan kemerdekaan dalam meraih kesempatan, kesetaraan, dan keadilan menuntut ilmu bagi kalangan rakyat kecil. Ki Hadjar mempercayai “kebangunan nasional” yang muncul di abad-20 sangat penting bagi pemeliharaan benih-benih kebudayaan. Hal tersebut antara lain diraih dengan jalan pendidikan sebagai usaha kebudayaan.

 

Tahun 1920 timbul cita-cita baru yang menghendaki perubahan radikal dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Cita-cita baru itu gabungan kesadaran kultural  dan kebangkitan politik menuju kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai jaminan kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa, yang akhirnya menjadi inti sistem pendidikan dan pengajaran. Di sinilah dasar-dasar kebudayaan bangsa, jiwa politik nasional, dan semangat revolusioner mulai terbangun.

 

Upaya yang ditempuh Ki Hadjar tidak ringan karena berhadapan dengan praktik kolonialisme Hindia-Belanda. Itulah sebabnya, azas Taman Siswa dari dahulu diniatkan sebagai sumber kemandirian. Tanpa kemandirian pembebasan terhadap penjajahan sukar diwujudkan. Prinsip kemandirian adalah bekerja menurut kekuatan sendiri. Sekalipun terdapat bantuan, Ki Hadjar berpendapat agar jangan mengurangi kemerdekaan lahir dan batin. Kedua elemen inilah yang kemudian diarahkan sebagai metode among. Mengajarkan sesuatu kepada anak berarti mendidiknya sesuai kodrat alam, sehingga batin, pikiran, dan tenaganya tumbuh merdeka.

 

Kontekstualisasi

Beberapa bulan belakangan ungkapan merdeka belajar sering didengar di percakapan umum. Mas Nadiem Makarim, Menteri Kemendikbud-Ristek, membingkai istilah ini dalam program kementeriannya. Merdeka belajar diambil dari filsafat Ki Hadjar Dewantara tentang kemerdekaan dan kemandirian. Pertanyaan berikutnya, sejauh mana gagasan bapak pendidikan nasional itu benar-benar tertuang dalam program merdeka belajar?

 

Hemat penulis, konsep merdeka belajar yang diambil dari alam pikiran Ki Hadjar harus mengarah pada tumbuh-kembang kodrat siswa atau mahasiswa. Tanpa prasyarat demikian, merdeka belajar hanya akan memproduksi jargon. Pada konteks pendidikan, praktik “paksaan-hukuman-ketertiban” hendaknya dihindari karena akan memasung kemerdekaan anak. Karena itu, proses dialog antara guru dan siswa menjadi faktor kunci. Guru semestinya mendampingi anak untuk mencari pengetahuan yang kontekstual demi keperluan bakat dan minatnya.

 

Perubahan belajar yang dahulu terpusat dari guru kini beralih menjadi siswa. Transformasi itu dua dasawarsa terakhir sering diperbincangkan. Guru bukan lagi sebagai pusat pengetahuan. Kemandirian siswa dan kemunculan berbagai fasilitas teknologi digital membuat persebaran pengetahuan bisa ditemukan dari mana saja. Buku memang sumber pengetahuan yang kredibel, tetapi ia sekarang bukan satu-satunya. Guru yang berusia muda lebih adaptif menggunakan sumber relevan yang lain seperti YouTube, Podcast, media digital interaktif, dan media baru lainnya. Diakui atau tidak, perubahan yang dibawa Revolusi Industri 4.0. turut membingkai proses belajar-mengajar sekarang ini.

 

Menghadapi perubahan di depan mata, haruslah  tetap kuat memegang prinsip kemerdekaan pendidikan. Semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani kian terasa relevan diterapkan. Penerapan “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan” menunjukkan makna harmonisasi praktik pendidikan yang memerdekakan, baik bagi guru maupun siswa. Kesenjangan antargenerasi yang ditandai oleh guru dan orang tua yang sebagian besar dalam kelompok Baby Boomers dan Generasi X dengan para siswa dan mahasiswa dalam kelompok Generasi Z,  dapat dipersempit dengan adanya kesadaran bersama akan semboyan Ki Hadjar tersebut.

 

Dengan demikian, kemerdekaan pendidikan merupakan spirit luhur Ki Hadjar Dewantara yang telah disesuaikan dengan kebutuhan saat ini dan yang akan datang. Semoga kemerdekaan pendidikan terus diwujudkan dalam berbagai kebijakan Kemendikbud-Ristek.

 

Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. (Dosen Pascasarjana Pendidikan dan Kepala Lembaga Pengembangan UST Yogyakarta)

Artikel dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Senin Kliwon 9 Mei 2022 pada Kolom Analisis.


Salam Humas Pascadik

 

 

Info Terkait

Tinggalkan Komentar

  • Nama
  • Website
  • Komentar
  • Kode Verifikasi
  • 171 + 9 = ?
Banner
SMS Center
PMB
Peninjauan Kurikulum
BIAYA PMB 2023/2024
Online Support
Statistik Member
Member:224 Orang
Member Aktif:224 Orang
Member Baru Hari Ini:0 Orang
Copyright © 2014 Pascasarjana Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. All Rights Reserved
Developed by Beesolution.Net